Jumat, 18 Juli 2014

Kesehatan Mental | Uniform Complex : Penyimpangan Kekerasan yang Dilakukan oleh Oknum Kepolisian



Latar Belakang
Seragam adalah seperangkat pakaian standar yang dikenakan oleh anggota suatu organisasi sewaktu berpartisipasi dalam aktivitas organisasi tersebut. (sumber: Wikipedia). Umumnya baju seragam dibuat bertujuan untuk menegakkan keteraturan, ketertiban dan wibawa dari seluruh pengguna seragam di dalam suatu intansi. (www.valentinonapitupulu.com). Seragam dapat membuat individu yang sebelumnya kurang percaya diri menjadi percaya diri. Rasa keberanian juga dapat muncul dari para aparat kepolisian yang mengenakan seragam. Selain disegani oleh orang-orang, citra para aparat berseragam juga tegas dan tak pandang bulu dalam memberantas kejahatan serta menjaga dan mengayomi masyarakat. Namun ada kalanya terjadi penyimpangan yang dilakukan para petugas aparat itu.
Penyimpangan yang dilakukan para aparat polisi, cenderung berupa agresi atau kekerasan. Mereka merasa memiliki hak dan wewenang untuk berbuat demikian demi tuntutan pekerjaan. Dan yang menjadi objeknya tidak hanya orang terduga bersalah, namun juga orang yang tidak bersalah. Biasanya itu dilakukan untuk kenyamanan pribadi sang polisi.
Agresi merupakan tingkah laku yang bertujuan untuk menyakiti makhluk hidup lain yang tidak menghendaki diperlakukan demikian. (Baron, Branscombe, Byrne, 2008: 338). Para aparat merasa memiliki wewenang dan hak untuk melakukan agresi kepada para korbannya, seperti ketika berhadapan dengan para demonstran  yang anarkis, maka ia tidak segan-segan untuk memukul dan menghajar. 


Kekerasan oleh polisi



Pembahasan 


Penganiayaan oleh anggota kepolisian kepada seorang warga.
Lokasi: Jalanan kota Tegal, Jawa Tengah,
Waktu:  Siang hari, 9 juni 2014



Pengeroyokan warga oleh oknum polisi
Lokasi: di Jalanan daerah Sulawesi Utara 
Waktu: malam hari, 11 Juni 2014.



Penganiayaan tiga oknumn polisi terhadap seorang wartawan.
Lokasi: Di markas kepolisian Paniai, Papua
Waktu:  Kamis sekitar pukul 16.20 WIT 


Para demonstran yang terluka karena mendapat pengamanan oleh para aparat kepolisian.
Lokasi: tempat berdemonstrasi
Waktu: Jam-jam ketika demo berlangsung. (biasanya berlangsung anarkis)


Teori-teori terkait

Dalam psikologi umum; Teori Abraham Maslow, hierarki kebutuhan tingkat 4; Kebutuhan akan penghargaan dan Teori Abraham Maslow, hierarki kebutuhan tingkat 5; Kebutuhan akan aktualisasi diri. (Basuki, 2008)

Bidang Psikologi Sosial; Teori dari Deaux dan Wrigtsman (1998), dimana dalam kehidupan sehari-hari penyebab perilaku agresif yang paling sering memicu perilaku agresi adalah penghinaan verbal. Teori dari Myers (dalam Sarwono, 1999), bahwa element dari hostile aggresion adalah situasi yang bisa memicu agresivitas dengan memprovokasi pikiran tentang kebencian, perasaan benci, dan arousal. Dan terakhir teori yang dikemukakan oleh Weber (dalam Kesworo,1988), bahwa kekuasaan seseorang atau sekelompok orang mampu merealisasikan segenap keinginannya. (Kurniati & Sapari, 2008)


Analisa

Tindakan kekerasan oleh para oknum awalnya untuk dapat mengendalikan para pelaku kejahatan yang dianggap liar dan brutal, demi menciptakan situasi dan lingkungan yang aman. Teori yang dipakai dalam kasus-kasus di atas untuk para pelaku, yakni teori Abraham Maslow, hierarki kebutuhan. Lebih spesifiknya teori kebutuhan Maslow tingkat 4 yaitu kebutuhan akan penghargaan. Juga hierarki kebutuhan tingkat 5 yaitu aktualisasi diri (Sarwono, 2009). Di sini kita melihat para aparat melakukan penyimpangan berupa kekerasan awalnya adalah sebagai bentuk ketegasan seperti tuntutan profesinya. Namun bila yang dilakukan bertujuan untuk menyakiti dan melukai orang lain, tentunya ini telah melanggar kode etik kepolisian. Apalagi ia melakukan kekerasan tersebut karena asas penghargaan dirinya sendiri sebagai aparat kepolisian bahwa tidak ingin sembarangan diatur dan berkompromi.

Pada kasus pengroyokan warga oleh para oknum polisi di Sulawesi Utara,  permasalahan sebenarnya karena para polisi tersebut merasa marah saat dicegat oleh para pemuda yang sedang mabuk. Merasa bahwa mereka adalah aparat dan dihalang-halangi melaksanakan salah satu tugasnya, maka mereka berani melakukan pengroyokan atau kekerasan tersebut. Menurut Puspito (1989), para anggota kelompok cenderung merasa sebagai “orang kita” karena mereka mempunyai tujuan yang sama dan menaati kaidah yang sama (ingroup), sedangkan orang lain yang bukan dari kelompoknya tidak dapat dipercaya, dan oleh karenanya “orang luar” itu tidak dapat dijadikan basis hubungan yang akrab, atau secara ekstrim harus berhati-hati (outgroup). (Sapari, Kurinati. 2008)
Pada kasus pengroyokan oleh oknum polisi kepada seorang warga di Tegal, dikatakan bahwa oknum polisi tersebut melakukan penganiayaan karena tersinggung ditegur oleh korban(warga) untuk melambatkan laju sepeda motor yang dikendarainya. Tidak terima dengan teguran, si pelaku dengan mengajak temannya sesama polisi, memukuli korban sampai babak belur bahkan nyaris buta sebelah. Pada teori dari Deaux dan Wrigtsman (1998), dikatakan dimana dalam kehidupan sehari-hari penyebab perilaku agresif yang paling sering memicu perilaku agresi adalah penghinaan verbal. Verbal mungkin tidak begitu menyakiti, tetapi ketika seseorang menganggap penghinaan tersebut sebagai sesuatu yang mengancam maka penghinaan tersebut akan dipersepsikan sebagai suatu tindakan yang agresif sehingga menyebabkan seseorang terdorong untuk membalas dengan perilaku agresi. (Sapari, Kurinati. 2008)  Dalam kasus ini polisi merasa bahwa dirinya tidak terima mendapat teguran, maka ia melakukan agresi. Agresi yang dilakukan aparat tersebut termasuk ke dalam faktor personal; Narsisisme atau Bertingkah laku agresif karena menganggap orang lain mengancam citra diri (ego-threat) sebagai orang atau tokoh taat aturan. (Sapari, Kurinati. 2008)
Pada kasus penganiayaan polisi kepada seorang wartawan di Papua adalah penyimpangan yang merupakan bentuk dari agresi pertahanan dari polisi. Oknum polisi tidak ingin diliput karena mengganggu dan khawatir pemberitaan macam-macam wartawan. Koordinator Divisi Advokasi AJI(Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia, melalui siaran persnya mengutuk keras peristiwa kekerasan yang menjadikan jurnalis sebagai targetnya. Apalagi, bila benar aksi kekerasan pada jurnalis itu benar dilakukan oleh polisi. Jurnalis itu berada di lokasi karena aktivitas jurnalistiknya. Aktivitas tersebut dilindungi UU Pers. AJI Indonesia mengutuk keras kejadian itu. Dan juga dikatakan bahwa Meminta Kepala Kepolisian RI untuk mengendalikan aparat Polri di seluruh Indonesia agar menggunakan prosedur penanganan aksi secara profesional dan terukur, sesuai slogan Polri: mengayomi dan melindungi masyarakat. Sesuai dengan UU Pers No 40 tahun 1999, menghalang-halangi tugas jurnalistik diancam pidana dua tahun penjara dan denda Rp 500 juta. (http://img.bisnis.com/posts/2013/08/19/157636/130819_kekerasan wartawan_thumb.htm)

Pada foto demonstran yang babak belur dihajar para oknum polisi, terlihat tindakan polisi cenderung brutal. Hal ini bermula karena berlangsungnya demonstrasi yang tidak tertib. Dalam pelaksanaan  penyampaian pendapat di depan umum,  demonstrasi harusnya dapat dilakukan secara tertib dan damai tetapi dapat pula demonstrasi berkembang menjadi gerakan yang cenderung agresif dan anarkis bahkan terkesan brutal. Ketika berlangsungnya aksi demonstrasi tidak jarang terjadi tindakan pemaksaan, penembakan, pemukulan dan bahkan sampai pada pengerusakan fasilitas umum, yang dilakukan oleh polisi (maupun demontran). Di mata masyarakat, kekerasan yang dilakukan polisi dalam aksi demonstrasi terbilang ironis karena keberadaan polisi pada dasarnya adalah untuk melindungi, bukannya melakukan kekerasan. Teori yang dikemukakan oleh Myers (dalam Sarwono, 1999), bahwa element dari hostile aggresion adalah situasi yang bisa memicu agresivitas dengan memprovokasi pikiran tentang kebencian, perasaan benci, dan arousal. Reaksi ini membuat subjek lebih peka terhadap niat untuk menyakiti dan untuk bereaksi agresif. (Sapari, Kurinati. 2008).
Teori yang dikemukakan oleh Weber (dalam Kesworo,1988), mengatakan bahwa kekuasaan seseorang atau sekelompok orang mampu merealisasikan segenap keinginannya. Salah satu aspek penunjang kekuasaan adalah pengabdian atau kepatuhan, kepatuhan itu sendiri dianggap memiliki pengaruh yang kuat terhadap kecenderungan dan intensitas agresi seseorang. (Sapari, Kurinati, 2008).


Kesimpulan yang dapat diambil, bahwa para aparat kepolisian dipandang memiliki sikap tegas dan tidak pandang bulu dalam memberantas kejahatan. Adapun sesuai semboyan kepolisian yaitu melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Jadi, secara profesinya, aparat kepolisian melakukan tindakan tegas karena tuntutan profesinya. Namun apabila tindakan ketegasannya sudah merujuk pada kekerasan tentunya ini tidak sesuai dengan semboyan mereka.
Kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian pada kasus-kasus di atas kebanyakan dilakukan untuk kepentingan pribadinya, tidak untuk kepentingan masyarakat. Seperti kasus polisi yang menganiaya warganya hanya karena tersinggung ditegur warga akibat mengebut di jalan raya. Tentunya ini malah bertentangan dari semboyan dan misi kepolisian yang  harusnya dijalankan.

Dari kasus serta teori yang telah dijelaskan di atas, para aparat memang diharuskan untuk bersikap tegas namun tentu kekerasan merupakan sebuah penyimpangan yang harus dihindarkan. Seragam yang dikenakan memang memberi pengaruh atau efek kepada kepribadian para aparat kepolisian tersebut. Karena seorang yang berprofesi polisi tanpa mengenakan seragam belum tentu muncul keberanian melakukan perilaku arogansi dan agresi seperti itu.

Daftar Pustaka

Kurniati & Sapari. Gambaran agresivitas aparat kepolisian yang menangani demonstrasi. Jurnal psikologi volume 1 no.2. Penerbit universitas gunadarma.
Jakarta:2008

Heru Basuki.Psikologi Umum. penerbit universitas Gunadarma.
Jakarta:2008

Sarwono, Sarlito. Psikologi Sosial. penerbit Salemba Humanika
Jakarta: 2009
http://img.bisnis.com/posts/2013/08/19/157636/130819_kekerasan wartawan_thumb.jpg

Wikipedia

http://www.indosiar.com/ penganiayaan-oleh-polisi_77224.html
http://www.indosiar.com/ polisi-keroyok-warga-hingga-kritis_77200.html

Google images

www.valentinonapitupulu.com