Latar Belakang
Seragam adalah seperangkat pakaian standar yang dikenakan oleh anggota suatu organisasi
sewaktu berpartisipasi dalam aktivitas organisasi tersebut. (sumber:
Wikipedia). Umumnya baju seragam dibuat bertujuan untuk menegakkan keteraturan,
ketertiban dan wibawa dari seluruh pengguna seragam di dalam suatu intansi.
(www.valentinonapitupulu.com). Seragam dapat membuat individu yang sebelumnya
kurang percaya diri menjadi percaya diri. Rasa keberanian juga dapat muncul
dari para aparat kepolisian yang mengenakan seragam. Selain disegani oleh
orang-orang, citra para aparat berseragam juga tegas dan tak pandang bulu dalam
memberantas kejahatan serta menjaga dan mengayomi masyarakat. Namun ada kalanya
terjadi penyimpangan yang dilakukan para petugas aparat itu.
Penyimpangan
yang dilakukan para aparat polisi, cenderung berupa agresi atau kekerasan. Mereka
merasa memiliki hak dan wewenang untuk berbuat demikian demi tuntutan
pekerjaan. Dan yang menjadi objeknya tidak hanya orang terduga bersalah, namun
juga orang yang tidak bersalah. Biasanya itu dilakukan untuk kenyamanan pribadi
sang polisi.
Agresi
merupakan tingkah laku yang bertujuan untuk menyakiti makhluk hidup lain yang
tidak menghendaki diperlakukan demikian. (Baron, Branscombe, Byrne, 2008: 338).
Para aparat merasa memiliki wewenang dan hak untuk melakukan agresi kepada para
korbannya, seperti ketika berhadapan dengan para demonstran yang anarkis, maka ia tidak segan-segan untuk
memukul dan menghajar.
Kekerasan oleh polisi
Pembahasan
Penganiayaan oleh anggota kepolisian kepada seorang warga.
Lokasi: Jalanan kota Tegal, Jawa Tengah,
Waktu: Siang hari, 9 juni 2014
Para demonstran yang terluka karena mendapat pengamanan oleh para aparat kepolisian.
Lokasi: tempat berdemonstrasi
Waktu: Jam-jam ketika demo berlangsung. (biasanya berlangsung anarkis)
|
Teori-teori
terkait
Dalam psikologi
umum; Teori Abraham Maslow, hierarki kebutuhan tingkat 4; Kebutuhan akan
penghargaan dan Teori Abraham Maslow, hierarki kebutuhan tingkat 5; Kebutuhan
akan aktualisasi diri. (Basuki, 2008)
Bidang
Psikologi Sosial; Teori dari Deaux dan Wrigtsman (1998), dimana dalam kehidupan
sehari-hari penyebab perilaku agresif yang paling sering memicu perilaku agresi
adalah penghinaan verbal. Teori dari Myers (dalam Sarwono, 1999), bahwa element
dari hostile aggresion adalah
situasi yang bisa memicu agresivitas dengan memprovokasi pikiran tentang
kebencian, perasaan benci, dan arousal.
Dan terakhir teori yang dikemukakan oleh Weber (dalam
Kesworo,1988), bahwa kekuasaan seseorang atau sekelompok orang mampu
merealisasikan segenap keinginannya. ( Kurniati & Sapari, 2008)
Analisa
Tindakan
kekerasan oleh para oknum awalnya untuk dapat mengendalikan para pelaku
kejahatan yang dianggap liar dan brutal, demi menciptakan situasi dan
lingkungan yang aman. Teori yang dipakai dalam kasus-kasus di atas untuk para pelaku,
yakni teori Abraham Maslow, hierarki kebutuhan. Lebih spesifiknya teori
kebutuhan Maslow tingkat 4 yaitu kebutuhan akan penghargaan. Juga hierarki kebutuhan
tingkat 5 yaitu aktualisasi diri (Sarwono, 2009). Di sini kita melihat para
aparat melakukan penyimpangan berupa kekerasan awalnya adalah sebagai bentuk
ketegasan seperti tuntutan profesinya. Namun bila yang dilakukan bertujuan
untuk menyakiti dan melukai orang lain, tentunya ini telah melanggar kode etik
kepolisian. Apalagi ia melakukan kekerasan tersebut karena asas penghargaan
dirinya sendiri sebagai aparat kepolisian bahwa tidak ingin sembarangan diatur
dan berkompromi.
Pada kasus
pengroyokan warga oleh para oknum polisi di Sulawesi Utara, permasalahan sebenarnya karena para polisi
tersebut merasa marah saat dicegat oleh para pemuda yang sedang mabuk. Merasa
bahwa mereka adalah aparat dan dihalang-halangi melaksanakan salah satu
tugasnya, maka mereka berani melakukan pengroyokan atau kekerasan tersebut. Menurut Puspito (1989), para anggota kelompok cenderung
merasa sebagai “orang kita” karena mereka mempunyai tujuan yang sama dan
menaati kaidah yang sama (ingroup), sedangkan
orang lain yang bukan dari kelompoknya tidak dapat dipercaya, dan oleh
karenanya “orang luar” itu tidak dapat dijadikan basis hubungan yang akrab,
atau secara ekstrim harus berhati-hati (outgroup).
(Sapari,
Kurinati. 2008)
Pada kasus pengroyokan oleh oknum polisi kepada seorang warga di
Tegal, dikatakan bahwa oknum polisi tersebut melakukan penganiayaan karena
tersinggung ditegur oleh korban(warga) untuk melambatkan laju sepeda motor yang
dikendarainya. Tidak terima dengan teguran, si pelaku dengan mengajak temannya
sesama polisi, memukuli korban sampai babak belur bahkan nyaris buta sebelah. Pada
teori dari Deaux dan Wrigtsman (1998), dikatakan dimana dalam kehidupan
sehari-hari penyebab perilaku agresif yang paling sering memicu perilaku agresi
adalah penghinaan verbal. Verbal mungkin tidak begitu menyakiti, tetapi ketika
seseorang menganggap penghinaan tersebut sebagai sesuatu yang mengancam maka
penghinaan tersebut akan dipersepsikan sebagai suatu tindakan yang agresif
sehingga menyebabkan seseorang terdorong untuk membalas dengan perilaku agresi.
(Sapari, Kurinati. 2008) Dalam kasus ini polisi merasa bahwa dirinya tidak
terima mendapat teguran, maka ia melakukan agresi.
Agresi yang dilakukan aparat tersebut termasuk ke dalam faktor personal;
Narsisisme atau Bertingkah laku agresif karena menganggap orang lain mengancam
citra diri (ego-threat) sebagai
orang atau tokoh taat aturan. (Sapari, Kurinati. 2008)
Pada
kasus penganiayaan polisi kepada seorang wartawan di Papua adalah penyimpangan yang
merupakan bentuk dari agresi pertahanan dari polisi. Oknum polisi tidak ingin diliput
karena mengganggu dan khawatir pemberitaan macam-macam wartawan. Koordinator
Divisi Advokasi AJI(Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia, melalui siaran
persnya mengutuk keras peristiwa kekerasan yang menjadikan jurnalis sebagai
targetnya. Apalagi, bila benar aksi kekerasan pada jurnalis itu benar dilakukan
oleh polisi. Jurnalis itu berada di lokasi karena aktivitas jurnalistiknya. Aktivitas
tersebut dilindungi UU Pers. AJI Indonesia mengutuk keras kejadian itu. Dan juga
dikatakan bahwa Meminta Kepala Kepolisian RI untuk mengendalikan aparat Polri
di seluruh Indonesia agar menggunakan prosedur penanganan aksi secara
profesional dan terukur, sesuai slogan Polri: mengayomi dan melindungi
masyarakat. Sesuai dengan UU Pers No 40 tahun 1999, menghalang-halangi tugas
jurnalistik diancam pidana dua tahun penjara dan denda Rp 500 juta. (http://img.bisnis.com/posts/2013/08/19/157636/130819_kekerasan
wartawan_thumb.htm)
Pada
foto demonstran yang babak belur dihajar para oknum polisi, terlihat tindakan
polisi cenderung brutal. Hal ini bermula karena berlangsungnya demonstrasi yang
tidak tertib. Dalam
pelaksanaan penyampaian pendapat di
depan umum, demonstrasi harusnya dapat
dilakukan secara tertib dan damai tetapi dapat pula demonstrasi berkembang
menjadi gerakan yang cenderung agresif dan anarkis bahkan terkesan brutal.
Ketika berlangsungnya aksi demonstrasi tidak jarang terjadi tindakan pemaksaan,
penembakan, pemukulan dan bahkan sampai pada pengerusakan fasilitas umum, yang
dilakukan oleh polisi (maupun demontran). Di mata masyarakat, kekerasan yang
dilakukan polisi dalam aksi demonstrasi terbilang ironis karena keberadaan
polisi pada dasarnya adalah untuk melindungi, bukannya melakukan kekerasan. Teori yang dikemukakan oleh Myers (dalam Sarwono, 1999),
bahwa element dari hostile aggresion adalah
situasi yang bisa memicu agresivitas dengan memprovokasi pikiran tentang
kebencian, perasaan benci, dan arousal.
Reaksi ini membuat subjek lebih peka terhadap niat untuk menyakiti dan untuk
bereaksi agresif. (Sapari,
Kurinati. 2008).
Teori yang
dikemukakan oleh Weber (dalam Kesworo,1988), mengatakan bahwa kekuasaan
seseorang atau sekelompok orang mampu merealisasikan segenap keinginannya.
Salah satu aspek penunjang kekuasaan adalah pengabdian atau kepatuhan,
kepatuhan itu sendiri dianggap memiliki pengaruh yang kuat terhadap
kecenderungan dan intensitas agresi seseorang. (Sapari, Kurinati, 2008).
Kesimpulan yang dapat diambil, bahwa para aparat kepolisian dipandang
memiliki sikap tegas dan tidak pandang bulu dalam memberantas kejahatan. Adapun
sesuai semboyan kepolisian yaitu melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.
Jadi, secara profesinya, aparat kepolisian melakukan tindakan tegas karena
tuntutan profesinya. Namun apabila tindakan ketegasannya sudah merujuk pada kekerasan
tentunya ini tidak sesuai dengan semboyan mereka.
Kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian pada kasus-kasus di
atas kebanyakan dilakukan untuk kepentingan pribadinya, tidak untuk kepentingan
masyarakat. Seperti kasus polisi yang menganiaya warganya hanya karena tersinggung
ditegur warga akibat mengebut di jalan raya. Tentunya ini malah bertentangan
dari semboyan dan misi kepolisian yang harusnya dijalankan.
Dari kasus serta teori yang telah dijelaskan di atas, para aparat
memang diharuskan untuk bersikap tegas namun tentu kekerasan merupakan sebuah penyimpangan
yang harus dihindarkan. Seragam yang dikenakan memang memberi pengaruh atau
efek kepada kepribadian para aparat kepolisian tersebut. Karena seorang yang
berprofesi polisi tanpa mengenakan seragam belum tentu muncul keberanian melakukan
perilaku arogansi dan agresi seperti itu.
Daftar Pustaka
Kurniati
& Sapari. Gambaran agresivitas aparat kepolisian yang menangani demonstrasi. Jurnal
psikologi volume 1 no.2. Penerbit universitas gunadarma.
Jakarta:2008
Heru
Basuki.Psikologi Umum. penerbit universitas Gunadarma.
Jakarta:2008
Sarwono,
Sarlito. Psikologi Sosial. penerbit Salemba Humanika
Jakarta:
2009
http://img.bisnis.com/posts/2013/08/19/157636/130819_kekerasan
wartawan_thumb.jpg
Wikipedia
http://www.indosiar.com/ penganiayaan-oleh-polisi_77224.html
http://www.indosiar.com/ polisi-keroyok-warga-hingga-kritis_77200.html
Google
images
www.valentinonapitupulu.com