Penggunaan senjata kimia bukan sesuatu yang baru. Di zaman antik pun,
orang Persia membakar bahan aspal dan belerang untuk meracuni legiun
Romawi. Pada perang Dunia I untuk pertama kalinya digunakan gas klor
dalam jumlah yang besar. Ini merupakan awal dari perang modern dengan
senjata pemusnah massal. Saat itu, sekitar 124.000 ton bahan kimia
digunakan untuk perang, dan menewaskan sekitar 90.000 orang. Sekitar
satu juta orang mengalami gangguan kesehatan, di antaranya sangat berat.
Pakar kimia Jerman, Fritz Haber yang dianugerahi hadiah Nobel Kimia
tahun 1918, dianggap sebagai "bapak" senjata kimia.
Tahun 1925 Protokol Jenewa sudah menuntut larangan penggunaan senjata
kimia. Meskipun demikian, pada Perang Dunia II, perang Vietnam, dan
perang Teluk Golf I digunakan bahan kimia. Ribuan jiwa lenyap dalam
waktu singkat. Sekitar 5000 warga Kurdi, terutama perempuan dan anak,
tewas pada 16 Maret 1988 dalam hanya satu serangan gas beracun di
Halabja, Irak.
Akhirnya, April 1997 diberlakukan perjanjian senjata kimia. 188
negara menandatangani kesepakatan ini. Namun Suriah, Angola, Burma,
Mesir, Israel, Korea Utara, Somalia dan Sudan Selatan tidak
menandatanganinya. Menurut perjanjian itu, semua yang disebut senjata C
harus dimusnahkan. Organisasi bagi larangan senjata kimia, OPCW
bermarkas di Den Haag dengan sekitar 500 petugas.
Senjata kimia terdiri dari bahan kimia untuk perang dan penyandangnya,
misalnya ranjau, granat tangan, panser penyemprot atau hulu ledak rudal.
Bahan ini membuat korbannya kehilangan nafas atau lumpuh. Awalnya
terdiri dari gas beracun, misalnya klor atau asam biru, namun mudah
menguap. Industri kemudian mulai memproduksi racun dalam bentuk cairan
yang tidak lagi hanya masuk lewat paru-paru tetapi juga melalui kontak
dengan kulit dan menyebar keseluruh organ tubuh serta menimbulkan
akibat yang sangat berat. Bahan yang ditakuti dalam kelompok ini adalah
yang disebut gas sulphur mustard . Tahun 1822 seorang ahli kimia
Belgia secara kebetulan berhasil membuat cairan berbau busuk yang pada
PD I melukai atau membunuh ribuan orang.
Sarin yang diperkirakan dipakai di Suriah, termasuk gas syaraf.
Dikembangkan pada PD II dan dapat membunuh hanya dengan porsi kecil.
Sarin memasuki tubuh tidak hanya melalui jalan pernafasan tetapi juga
melalui kulit. Gunnar Jeremias, pemimpin penelitian pengawasan senjata
biologi di Pusat bagi Ilmu Pengetahuan Alam dan Perdamaian, Universitas
Hamburg mengatakan, orang dapat melindungi diri dari Sarin hanya bila
mengenakan pakaian yang menutup keseluruhan tubuh. Sarin membuat orang
tidak bisa lagi bernafas, tambahnya.
Pendapat Saya
Penggunaan senjata kimia dapat menimbulkan bahaya yang tinggi dibandingkan senjata api yang biasa digunakan dalam peperangan antar negara. Dampak bagi kesehatan yang sangat parah, misalnya buta, luka bakar pada kulit
atau bayi cacat. Sejumlah senjata kimiawi sangat merusak lingkungan
yang dampaknya tak terhitung jumlahnya bagi manusia. sebaiknya diadakan pelarangan penggunaan senjata kimia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar